31.2 C
Jakarta

MK Menyuburkan Dinasti Politik

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang mengubah dan mengguncangkan dinamika politik Indonesia.

Putusan tersebut mengenai batasan usia calon presiden dengan penambahan norma “berpengalaman sebagai kepala daerah.” Keputusan ini memunculkan perdebatan sengit terkait perkembangan dinasti politik di Indonesia.

Dinasti politik, yang merujuk pada praktik mewariskan kekuasaan politik kepada anggota keluarga atau keturunan pejabat yang telah menduduki jabatan politik sebelumnya, menjadi isu kritis yang berpengaruh terhadap masa depan demokrasi Indonesia.

Praktik politik dinasti sudah menjadi kebiasaan buruk para politisi yang menjadi ancaman serius terhadap penurunan kualitas demokrasi itu sendiri.

Hal ini senada dengan persepsi publik yang tergambar dalam survei Voxpol center dimana mayoritas responden (69,3%) tidak setuju adanya praktik politik dinasti sementara mayoritas lainnya (67,9%) percaya bahwa praktik semacam ini dapat merusak kualitas demokrasi. Bahkan, sebanyak 74,8% responden mendukung adanya regulasi yang membatasi praktik politik dinasti

Namun putusan MK seolah mengabaikan nuansa kebatinan publik dan lebih mementingkan hasrat kekuasaan yang akan menyeret MK dalam pusaran politik destruktif secara internal maupun demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.

Salah satu aspek yang paling mencolok dalam putusan MK adalah ketidaksetaraan dalam demokrasi. Ketika anak seorang presiden maju dalam pemilihan umum, terdapat potensi penyalahgunaan kekuasaan/abuse of power. Terutama karena presiden masih berkuasa dan memegang kendali penuh hingga hari H pencoblosan. Hal ini mengancam prinsip dasar demokrasi yang harus dijunjung, yaitu kesetaraan dalam demokrasi.

Selain itu, keputusan MK juga memunculkan isu konflik kepentingan yang patut dicermati. MK dianggap tenggelam dalam pusaran ketidakjelasan etika, terutama karena pimpinannya memiliki hubungan keluarga dengan presiden.

Apalagi, perkara yang sedang disidangkan sangat erat kaitannya dengan kepentingan keluarga dan keponakan presiden. Hal ini memunculkan pandangan bahwa MK seakan menjadi “mahkamah keluarga” yang memberikan perlakuan istimewa kepada Gibran yang maju sebagai calon wakil presiden dari kubu Prabowo.

Saat kita berbicara tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), penting untuk mempertimbangkan apakah MK telah melampaui batas kewenangannya.

Secara ideal, MK seharusnya hanya memiliki kewenangan untuk menguji apakah suatu peraturan bertentangan dengan konstitusi atau tidak. MK bukan lembaga yang seharusnya membuat norma baru, yang seharusnya menjadi tugas dari pembuat undang-undang (DPR).

Kita juga perlu memahami bahwa ketentuan usia minimum 40 tahun bukanlah keputusan yang diambil dengan sembarangan. Ini melibatkan perhitungan, alasan hukum yang mendasarinya, serta pertimbangan yang mendalam dari pembuat kebijakan dan anggota DPR pada saat itu.

MK telah menolak untuk menurunkan batas usia minimal, namun, mereka mencoba mengakalinya dengan menambahkan persyaratan baru, yaitu “pernah menjabat sebagai kepala daerah,” yang jelas bukan menjadi kewenangan MK.

Salah satu dampak terberat dari putusan MK adalah kredibilitas lembaga tersebut sebagai penjaga konstitusi akan digugat dan dipertanyakan.

Ketika putusan MK yang diharapkan memulihkan kepercayaan publik justru dianggap merusak kualitas demokrasi, kita harus menghadapi realitas bahwa lembaga ini telah berubah menjadi alat untuk membangun dinasti politik.

Sebagai masyarakat yang peduli terhadap perkembangan demokrasi, kita harus terus memantau perkembangan ini dan mendorong reformasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan adil.

Dalam hal ini, pendidikan politik dan partisipasi aktif kita dalam proses politik adalah kunci untuk menghadapi tantangan ini dan membangun masa depan yang lebih baik untuk negara kita.

PANGI SYARWI CHANIAGO

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting

Berita Terbaru

Populer

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here